Langsung ke konten utama

Empat Mata


"Hal yang paling membahagiakan dalam hidup ini adalah ketika kita yakin bahwa kita dicintai orang yang kita cintai." 



Daun – daun mengalun diiringi musik matahari. Ranting – ranting menari indah bersama akar yang terus menancapkan tombaknya. Kita bertemu di persimpangan  jalan yang sulit ku mengerti. Kedua pasang bola mata kita saling bertentangan. Matamu menelisik tajam menusuk rongga - rongga dan setiap sel serta jaringan yang menyusun tubuhku. Jujur, aku tak kuasa menatap mata pisau yang menggoyakan setiap ruang dalam hatiku. Sekali lagi, benar - benar tak kuasa. 

Tatapan kita mengabur ketika bel sekolah terdera. ingin rasanya lebih lama aku untuk berada di sampingmu. Aku masih ingin mendengar suara detak jantungmu di samping detak jantungku yang terus berpacu. Aku masih ingin menatap setiap guratan surgawi pada garis yang melintang  di bibirmu. Ketika langkah kita berderap saling menjauh, ketika itu pula detak jantungku berhenti berlari, dan saat itu pula aku tidak lagi berharap untuk bisa mendengar detak jantungmu. 

Kau ingat ketika tangan kita saling menyatu ? Aku merasakan detak nadi di setiap hembusan nafasmu dan desiran darah yang menyatu dalam tulang - tulang yang rapuh. Jantungku benar - benar berpacu, lebih cepat dibanding kecepatan mobil pada ajang balap bergengsi  Formula 1.  Bahagiaku bertambah banyak, lebih banyak dibanding susunan pohon faktor bilangan satu triliun dengan bilangan pembagi angka dua. Rasa cintaku semakin bertambah seiring bertambahnya detik dalam detak jam yang terus berdentang. 

Kau ingat ketika kita saling bercanda dan tertawa bersama ? senyummu begitu manis, lebih manis dai fruktosa dan dekstrosa. sinar - sinar pada gigimu lebih indah dibanding sinar rembulan pertengahan. lengkung senyum di wajahmu, lebih menarik daripada bulan sabit. Kau dengar ketika bibirku menyebut namamu di malam hari pada tidurku ? Bibir ini bertingkah sangat durhaka pada tuannya.

Aku tahu kau tidak akan melakukan hal bodoh yang aku lakukan. Aku tahu dan yakin bahwa kau tidak merasakan apa yang ada pada hatiku saat ini. Ketahuilah, aku menciptakan hati ini untukmu, Tapi apakah kau menciptakan ruang agar hatiku dapat menetap ? Dan ketahuilah cerita ini berawal dari tatap keempat bola mata kita yang saling bercerita pada ranting – ranting yang berjatuhan. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAU MEMBAKARKU BERKALI – KALI

Aku pernah tinggal di buku  catatan harianmu dan kau bakar  di kaki pohon mangga di samping  kamar tidurmu. Kau kembalikan  aku jadi pohon dan aku semakin  mencintaimu. Aku ranting yang kemarin sore  kau potong karena menyentuh  kaca jendelamu. Akan kau dengar  aku tidak berhenti mengucapkan  namamu ketika apimu menghabisi  tubuhku sekali lagi. Kelak aku adalah rumput yang  mencium telapak kakimu ketika  kau kelelahan menjemur pakaian  anak – anakmu yang nakal. Buat apa kuserahkan hidupku  kepada hal – hal lain,  jika cinta juga  bisa membunuhku.  Berkali – kali dan  berkali – kali lebih perih.  ~M. AAN MANSYUR 

PUISI TIDAK MENYELAMATKAN APAPUN

Puisi tidak menyelamatkan apapun, namun memberi keberanian membuka jendela dan pintu pda pagi hari.  Menyeret kakiku menghadapi dunia yang meleleh  di jalan – jalan kota yang tidak berhenti berasap. Puisi tidak menyelamatkan apapun, namun dari matanya  kulihat seekor anjing berjalan menuntun seorang pria tua  buta ditaman. Dari hidungnya kuhirup ladang – ladang jauh  yang tumpah sebagai parfum mahal dipakaian orang asing.  Dari telinganya kusimak musik dari getar senar gitar para  imigran bernasib gelap. Puisi tidak menyelamatkan apapun, namun jari – jarinya  menyisir rambutku yang dikacaukan cuaca. Sepasang  lengannya memeluk kegelisahanku. Tubuh ayahku  kumakamkan di punggungnya yang bersayap. Tanah  kelahiranku memanggil – manggil di suaranya  yang sayup.  Dan di lembab bibirnya kukecap senyummu  berulang kali setiap redup dan berharap.  ~M. AAN MANSYUR

DIJALAN MENUJU RUMAH

Di jalan menuju rumah, aku tidak mampu  membedakan antara pagi yang lumrah  dan sore yang merah bagai kesedihan  pecah di sepasang matamu. Aku tidak mampu membedakan: kilau  lampu – lampu merkuri ditepi jalan  dan perkara yang tidak bernama  dalam diriku. Aku tidak mampu membedakan: suara   yang memanggil – manggil harilalu  dan beku udara yang menggigil  di tulang – tulangku. Aku tidak mampu membedakan,  apakah bayanganmu yang datang  atau tubuhku yang pulang ~M. AAN MASYUR