Langsung ke konten utama

MENGUBUR DIRI BERSAMA JUNI

“Pada akhirnya, kamu hanya perlu mensyukuri apapun yang kamu miliki hari ini. Walaupun yang kau tunggu tak pernah datang. Walaupun yang kau perjuangkan tak pernah sadar dengan apa yang kau lakukan. Nikmati saja. Kelak, dia yang kau cintai akan tahu, betapa kerasnya kau memperjuangkannya. Betapa dalam rasa yang kau simpan kepadanya. Dia hanya pura – pura tidak tahu, atau mungkin tidak mau tahu sama sekali. Tidak usah hiraukan. Jika sampai hari ini kau masih memperjuangkannya, dan masih menunggunya, tidak masalah. Tidak ada salahnya dalam memperjuangkan cinta yang kau rasa.

Tapi satu hal yang mungkin bisa kau renungkan. Menunggu ada batasnya. Dan kau akan tahu kapan harus berhenti dan mulai berjalan lagi. Meninggalkan tempat dimana kamu pernah berjuang sepenuh hati, tapi tak dihargai.“ ~Boy Chandra


Teruntuk Juni yang paling kucintai,

Pada persimpangan juni tahun ini, mungkin adalah juni terakhir dalam hidupku. Kau ingat ketika tuhan menyatukan kita. Maksudku mempertemukan kita. Kedua pasang mata kita berada pada satu garis singgung. Aku tidak mengerti mengapa rasa ini selalu muncul ketika mata kita bersinggungan pada cakrawala yang sama. Aku tidak mengerti mengapa rasa ini tidak pernah enyah dan terus mengusik angan – angan untuk memilikimu yang tidak pernah terwujud.

Pada pertemuan juni tahun ini, mungkin adalah juni terakhir yang menemani hari – hariku. Aku tidak mengerti mengapa juni selau diam. Kau bisu. Tidak bicara sepatah katapun tentang rasa. Bahkan ketika pagi menyapa, tubuhmu layu tak ditopang dengan cinta. Matamu sayu tertinggal kantuk yang semalam mengganggumu. Aku ingin menjadi susunan tulang dalam tubuhmu agar kau tidak terjatuh, aku ingin menjadi kafein yang menjagamu dari rasa kantuk yang mengganggu.
Kedatanganmu hanya menggoreskan luka pada hati ini. Tapi, kedatanganmu juga memberikan kebahagiaan dan arti kehidupan dalam melewati hari. Cintaku tidak seterang matahari ataupun secantik sinar rembulan. Tapi, kau harus tahu, cintaku seperi tanah yang tidak akan pernah meninggalkan bumi.

Teruntuk Juni yang paling ku rindukan,

Bahkan dari sudut kamarku , aku masih bisa melihat senja dari balik jendela yang ditutupi tirai – tirai memuakkan. Sampai senja itu menghilang dibalik siluet tubuhmu yang terukir dalam spektrum warna jingga. Bintang kejora pun tak dapat menjelaskan kemana kamu pergi karena teralihkan pesonamu. Senyummu tergores manis. Mengalahkan lintang garis katulistiwa yang terbentang. Senyuan itu benar – benar misteri. Tanda tanya itu terbentuk saat aksara keluar dari bibir yang menawan.  

Hingga mataku terpejam , tubuhmu masih terlihat menggunakan sutra putih berkilauan. Kau berlari dan aku berdiam diri. Bayanganmmu tertinggal bersama jejak ketika kau berlari terlalu cepat dan tidak mengubah arah pandangmu.  Jejakmu dalam, sampai aku harus meniupkan juataan kubik pasir untuk menutupnya. Aku tidak mungkin menunggu hujan yang membenci juni, karena itu membuat aku terlelap dalam kenangan atas dirimu.

Cinta, mungkin kita tidak akan bertemu pada pesimpangan jalan maupun lampu merah kota yang mulai redup. Kepulan asap dan kabut metropolitan tidak akan mampu mengaburkan bayangmu dari pikiranku. Bahkan, jutaan mausia yang disibukan oleh kesibukan kantorpun, tidak akan bisa menghentikan larimu yang telah melukiskan jarak.

Juni, aku tidak bisa menjadi kancing kecil dalam kemejamu, karena seluruh benang meronta dan melilitku kemudian mengusirku begitu saja. Aku tahu, kau tidak akan pernah merasakan hal yang aku rasakan. Ketika tanganmu menyentuh guratan nadi yang membentuk sketsa abstrak atas nama cinta. Apalagi, ketika kepalamu yang lunglai bersandar dibahuku. Harummu menyeruak masuk kedalam lapisan – lapisan sel yang membentuk alveolusku. Bahkan hingga saat ini, aku masih bisa meraba keberadaanmu dengan harummu yang masih tertinggal dalam relungku.    

Cinta, kau tak akan pernah menggenggam tanganku dengan erat, karena kita adalah magnet dengan kutub yang sama. Ketika luka menggores rindu dan perih menggores memori, mungkin darah tak akan bisa menggambarkan luka, dan sakit tak akan bisa merasakan perih. Batas adalah penghalang yang membuat tubuhku tak bisa menyapamu. Sebagian sisa rindu tertinggal api yang semalaman melahap hatiku sebelum jadi abu. Aku tak lagi bisa menyusunnya kembali. Cermin itu hitam, bahkan sesekali aku menatapnya, cermin itu hanya menunjukan retaknya.

Juni yang kucintai dan selalu kutunggu, kini, detak langkahku diberhentikan oleh matahari tergantung sukma. Tapi, aku bukan sepatu yang selalu meninggalkan jejak. Kau tenang saja, akan aku hapus seluruh jejak yang terbentuk pada setiap langkahku. Ah, tapi untuk apa aku menghapusnya ? bukankah kau hanya segelintiran dari orang-orang kota yang tak peduli pada langkah orang disekitarnya. Kau harus tahu, ketika mata ini tertutup kantuk, ada namamu dibalik kelaopak mataku, dan senyummu yang kulihat tempo hari masih tertinggal dan tetap utuh. Tapi, itu bukan senyum untukku, tapi untuknya. Dia yang namanya selalu menggoreskan luka pada hati ini, yang membuat fajar tak bisa bergeming pada petang. Kau menyebutkan orang yang tidak pernah aku harap ada dihidupmu. Kau menghancurkan tembok yang telah aku bangun selama 14 purnama ini. Harus berapa kali lagi aku akan membangun hati ini untukkmu ? 

Juni, aku ini sembilanmu yang dikuadratkan atas cinta akan menjadi 81. Delapan untuk kebebasan dan satu untuk mencintaimu. Dan jika dijumlahkan akan tetap menjadi sembilamu. Aku ini sembilanmu yang dikaliakan tiga akan menjadi 27. Dua untuk kita dan tujuh untuk sabda dewa yang bersumpah atas nama cinta. Dan jika dijumlahkan akan tetap menjadi sembilanmu. Aku ingin menjadi sembilamu yang dikalikan bilangan apapun akan tetap menjadi sembilamu. Tapi, aku tidak ingin menjadi sembilamu yang diakarkan akan menjadi tiga. Tiga untuk aku, kamu dan dia.

Kau harus tahu, bahwa dalam seluruh puisiku pasti koma maupun titik selalu tertanda. Mungkin kau tidak mengerti, bahwa sebelum aku berhenti untuk mencintaimu, ada koma yang menjadi penghalang untuk membuat ku berpikir dan berani untuk mencintaimu sekali lagi. Dan sekarang, titik itu muncul dan mendahului jejak langkahku. Aku baru mengerti, bahwa titik selalu ada dalam sebuah akhir. Dan titik itu pula yang menentukan banyaknya aksara yang kususun sebelum, ataupun sesudahnya.  Pada titik diakhir kaliamat ini, kuberanikan diri dan kuputuskan akan menjadi akhir dari seluruh kenangan yang pernah kita susun bersama. Maksudku, sendiri. Pada kata di akhir kalimat ini, telah kusisipkan rasa yang tidak akan pernah hilang.

Terima kasih Juni, aku akan membawa rasa bersama hujan dan menebar cinta bersama embun. malam pekat memaksa diri meninggalkan cinta yang tidak bisa ku bawa berlari. maafkan aku yang tak bisa menjadi Juli maupun Mei yang selu berada di dekatmu. Tapi, aku akan tetap menjadi matahari yang menyinari bulan pada malam hari. Selamat tinggal Juni.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KAU MEMBAKARKU BERKALI – KALI

Aku pernah tinggal di buku  catatan harianmu dan kau bakar  di kaki pohon mangga di samping  kamar tidurmu. Kau kembalikan  aku jadi pohon dan aku semakin  mencintaimu. Aku ranting yang kemarin sore  kau potong karena menyentuh  kaca jendelamu. Akan kau dengar  aku tidak berhenti mengucapkan  namamu ketika apimu menghabisi  tubuhku sekali lagi. Kelak aku adalah rumput yang  mencium telapak kakimu ketika  kau kelelahan menjemur pakaian  anak – anakmu yang nakal. Buat apa kuserahkan hidupku  kepada hal – hal lain,  jika cinta juga  bisa membunuhku.  Berkali – kali dan  berkali – kali lebih perih.  ~M. AAN MANSYUR 

PUISI TIDAK MENYELAMATKAN APAPUN

Puisi tidak menyelamatkan apapun, namun memberi keberanian membuka jendela dan pintu pda pagi hari.  Menyeret kakiku menghadapi dunia yang meleleh  di jalan – jalan kota yang tidak berhenti berasap. Puisi tidak menyelamatkan apapun, namun dari matanya  kulihat seekor anjing berjalan menuntun seorang pria tua  buta ditaman. Dari hidungnya kuhirup ladang – ladang jauh  yang tumpah sebagai parfum mahal dipakaian orang asing.  Dari telinganya kusimak musik dari getar senar gitar para  imigran bernasib gelap. Puisi tidak menyelamatkan apapun, namun jari – jarinya  menyisir rambutku yang dikacaukan cuaca. Sepasang  lengannya memeluk kegelisahanku. Tubuh ayahku  kumakamkan di punggungnya yang bersayap. Tanah  kelahiranku memanggil – manggil di suaranya  yang sayup.  Dan di lembab bibirnya kukecap senyummu  berulang kali setiap redup dan berharap.  ~M. AAN MANSYUR

DIJALAN MENUJU RUMAH

Di jalan menuju rumah, aku tidak mampu  membedakan antara pagi yang lumrah  dan sore yang merah bagai kesedihan  pecah di sepasang matamu. Aku tidak mampu membedakan: kilau  lampu – lampu merkuri ditepi jalan  dan perkara yang tidak bernama  dalam diriku. Aku tidak mampu membedakan: suara   yang memanggil – manggil harilalu  dan beku udara yang menggigil  di tulang – tulangku. Aku tidak mampu membedakan,  apakah bayanganmu yang datang  atau tubuhku yang pulang ~M. AAN MASYUR